[Mini Series] Extraordinary Love – Chapter 3B

extraordinary-love-jungminrin-done

Extraordinary Love

Chapter 3 – Dilemma

by

Jung Minrin (@reddsky_10)

transformed from Idwinaya

SNSD Sooyoung || EXO-M Tao || SNSD Yuri

SNSD Tiffany || EXO-M Kris || f(x) Victoria || EXO-M Luhan || EXO-K Kai || SNSD Yoona

Length : Mini Series || Rating : PG || Genre : Romance, Family, Friendship, Sad

Inspired by :

Bukan Cinta Biasa by Afgan

Note :

Maaf terlambat!! Minyu masih rewel :3

Buat seluruh pembaca setia ff ini, selamat membaca ^o^

Semoga kalian puas dan terhibur ^^

.

our love is an extraordinary love. and this is my confession…

-Huang Zhi Tao-

.

“Hah?!” Yoona berteriak dengan cukup keras, sehingga membuat hampir seisi kelas menoleh ke arah tempat duduknya dan Sooyoung. Mulutnya menganga dengan cukup lebar, setelah mendengar penuturan Sooyoung padanya.

Sooyoung menyapukan pandangannya ke seluruh kelas dan menunduk-nundukkan kepalanya, tanda meminta maaf atas tingkah sahabatnya yang mengganggu ketenangan kelasnya yang memang belum dimulai. “Aish, Yoong! Kau selalu berlebihan begitu!” celetuk Sooyoung jengkel.

Yoona hanya nyengir. “Mian, mian, aku terlalu terkejut, Soo-ah,” bela Yoona. Yoona pun mendekatkan dirinya pada Sooyoung dan mulai berbisik, “Jadi, kau serius atas apa yang kau katakan tadi?”

Sooyoung mendengus pelan, lantas menunduk dan menumpukan dagunya ke atas mejanya. “Apakah wajahku terlihat seperti sedang main-main, hm?” tanya Sooyoung malas.

Yoona kembali nyengir. “Mian, mian,” ucapnya. “Lalu, apa langkahmu selanjutnya, Soo?” tanya Yoona penasaran. Ia ikut-ikutan Sooyoung, menumpukan dagunya pada tepi meja.

Sooyoung meniup poni yang menutupi dahinya. “Mwolla, Yoong~” ucapnya pasrah. “Kenapa semuanya bisa terjadi dalam satu waktu yang sama? Umma akan mengenalkan kekasihnya padaku, sementara Halmeoni hendak menjodohkan Appa dengan seorang wanita,” celotehnya. “Duh, apa yang harus kulakukan? Hmppft!” keluhnya jengkel.

“Hm, ini adalah sebuah dilema, Soo-ah,” timpal Yoona. Pandangannya menerawang, berusaha memikirkan suatu pemecahan bagi masalah yang menimpa sahabatnya. “Menurutku, kau harus melakukan apapun asal membuat orang tuamu bahagia, Soo,” celetuk Yoona.

Sooyoung membuka kedua matanya lebar-lebar, menatap Yoona lekat-lekat. “Maksudmu?”

Yoona menegakkan tubuhnya, lantas merapikan seragam sekolah yang melekat di tubuhnya. “Kalau Umma-mu memang merasa bahagia dengan kekasihnya itu, menurutku kau harus merelakan Umma-mu dengan kekasihnya,” jelas Yoona bijak.

Sooyoung pun menegakkan tubuhnya dan memiringkan kepalanya. “Lalu, bagaimana dengan Appa-ku?” tanyanya. Sooyoung bisa menangkap dengan jelas dari sorot mata Appa-nya bahwa Appa-nya masih mencintai Umma-nya, atau setidaknya sang Appa merasakan kesepian. Tentu saja, Sooyoung tak ingin sekedar melihat Umma-nya bahagia. Ia juga ingin melihat sang Appa bahagia, dengan atau tanpa Umma-nya.

Yoona terdiam dan berpikir sejenak.

“Apakah aku harus menyetujui tawaran Halmeoni untuk membantu menjodohkan Appa?” tanya Sooyoung sambil memandang menerawang.

Yoona menatap ke arah Sooyoung. “Hm, bisa saja, bukan?” balas Yoona ragu.

Sooyoung pun membalas tatapan Yoona. “Tapi, bagaimana kalau Appa tidak menyukai wanita pilihan Halmeoni? Lalu, mereka tetap memaksa menikah dan akhirnya mereka bercerai lagi? Ah, aku tak ingin melihat Appa sedih lagi,” cerocos Sooyoung.

Yoona mendesah keras. “Ya, berpikirlah dengan sedikit cerdas, Huang Sooyoung!” celetuk Yoona.

“Eh?”

“Biarkan Appa-mu memilih wanita yang benar-benar dicintainya, Pabbo!” tegas Yoona.

Sooyoung langsung terdiam. ‘Bagaimana kalau wanita yang benar-benar dicintai Appa hanyalah Umma?’

.

“Sajangnim, ini adalah berkas-berkas yang harus Anda tanda tangani.”

Tao mendongak ke arah sekretarisnya―Sekretaris Han―yang sudah berdiri di sampingnya sambil membawa setumpuk dokumen di tangannya. Ia menyunggingkan sebuah senyuman kecil, lantas berucap, “Gamsahamnida, Sekretaris Han.”

Sekretaris Han, seorang wanita yang usianya hanya beberapa tahun lebih muda dari Tao itu tersenyum kecil. “Saya permisi dulu, Sajangnim,” pamitnya.
Tao mengangguk, lantas terfokus pada dokumen yang diserahkan oleh sekretarisnya.

Sekretaris Han pun mulai berjalan pergi, meninggalkan ruang kerja Tao.
Tao membuka halaman pertama pada dokumen tersebut dan…

Neoui sesangeuro yeorin barameul tago

Ne gyeoteuro eodieseo wannyago

Haemarkge mutneun nege bimirira malhaesseo

Manyang idaero hamkke georeumyeon

Eodideun cheongugilteni

Ponsel Tao mengalunkan reff lagu Angel yang dijadikannya sebagai nada dering sebuah pesan masuk. Tao pun mengalihkan pandangannya sejenak dari dokumen yang dibacanya, pada ponselnya yang tergeletak di sisi kanan meja kerjanya. Sekilas, ia bisa membaca nama yang muncul di layar ponselnya.

One New Message!

Huang Sooyoung

Tao pun segera meraih ponselnya dengan penuh semangat. Ia selalu saja merasa bersemangat jika berkaitan dengan putrinya. Ia pun segera membuka dan membaca pesan dari Sooyoung.

Annyeong, Appa ^^

Appa, aku ingin sekali mengajak Appa makan, sepulang dari sekolah tari.

Apakah Appa punya waktu?

Tao tersenyum kecil setelah membaca pesan singkat Sooyoung. Otaknya memvisualisasikan suatu adegan, ketika Sooyoung mengatakan hal itu secara langsung padanya. ‘Pasti sangat lucu,’ batinnya.

Tao pun mulai mengetikkan balasan untuk Sooyoung.

Tentu saja, Sooyoungie. Nanti, Appa akan menjemputmu.

Jangan lupa untuk berpamitan pada Umma-mu, arrachi?

.

“Kenapa kau tersenyum-senyum? Apa kau sudah gila?”

Sooyoung terkejut atas suara aneh yang mengganggu pendengarannya barusan. Tangannya mengeratkan genggamannya pada ponselnya. Kepalanya menoleh cepat ke arah pemuda yang duduk di sampingnya. “Ya! Apa katamu?” tanya Sooyoung jengkel.

Pemuda yang duduk di samping Sooyoung―Kai―menghela nafas panjang dan kembali menggoreskan tinta ke atas kertas melalui pulpennya. “Apakah kau sudah gila? Kau tersenyum-senyum sendiri begitu,” cibir Kai.

Sooyoung menggembungkan pipinya kesal. Sungguh, ia benar-benar mengutuk Park Seonsaengnim―guru Biologinya―yang mengelompokkannya dengan pemuda dingin dan ketus ini. Ia berusaha mengabaikan Kai sebaik mungkin dan fokus pada pesan yang baru saja dikirimkan Appa-nya. Masa bodoh, dengan Park Seonsaengnim yang menegurnya karena menggunakan ponsel di dalam kelas. Ia sudah terlalu malas untuk kembali fokus pada pelajaran. Lagipula, ia sudah mengerjakan separuh dari tugas kelompok, dan sisanya, merupakan bagian yang harus dikerjakan Kai.

“Nah, kau malah tidak menjawab pertanyaanku. Jelas sudah, kalau kau itu gila,” komentar Kai, sambil tetap menulis di atas lembar jawaban kelompok. “Dan bodoh,” sambungnya.

Sooyoung membuang nafas dengan kasar. Tangannya mencengkram ponselnya dengan kuat, hingga nyaris retak. “Berhenti berbicara dan kerjakan tugasmu, Jongin,” desis Sooyoung tajam.

Kai menoleh ke arah Sooyoung, hanya untuk menunjukkan wajah datarnya yang seolah tak berdosa. Ia pun mengangkat bahunya dan kembali menekuni pekerjaannya.

Sooyoung menarik nafas dan menghembuskannya secara teratur. Ia terus memerintahkan otaknya untuk melakukan hal itu, salah satu hal yang mampu membuatnya merasa tenang.

“Nah, sudah selesai!” gumam Kai, tiba-tiba.

Sooyoung melirik diam-diam ke arah Kai. Dan benar juga, pekerjaan mereka sudah selesai. Ia pun segera memalingkan wajahnya dan kembali menyibukkan diri dengan ponselnya.

Kai mencolek punggung Sooyoung. “Lihatlah, seharusnya, kau bersyukur memiliki rekan kerja sepertiku,” celetuk Kai sambil menunjukkan lembar jawabannya pada Sooyoung.

Sooyoung sama sekali tidak melirik ke arah Kai lagi. Sebagai gantinya, ia hanya membalas ocehan Kai dengan gumaman.

Kai berdecak kesal. “Aish, kau menyebalkan!” gerutunya. Tak lama, Kai melirik ke arah Sooyoung yang masih asyik menggeluti ponselnya. “Kau sedang apa, sih?” tanyanya dengan nada yang penuh akan keingin tahuan. “Ah, aku tahu, kau pasti sedang berkirim pesan dengan kekasihmu, ya?” tebak Kai.

Sooyoung menurunkan ponselnya, lantas menatap Kai tajam. “Heh, seenaknya saja! Ini bukan dari kekasihku,” protes Sooyoung.

“Lalu?”

“Ini dari Appa-ku,” jawab Sooyoung ketus tanpa melihat ke arah Kai.
Kai melotot. “Appa-mu? Kau yakin? Kenapa kau terlihat senang sekali dengan pesan dari Appa-mu?” balas Kai tak percaya.

Sooyoung mendengus pelan. “Kami jarang sekali bertemu. Makanya, aku sangat senang, jika kami bisa menghabiskan waktu bersama. Dan nanti, aku akan pergi makan bersama dengan Appa,” celoteh Sooyoung. Sooyoung memang selalu dikenal sebagai pribadi yang terbuka dan tidak segan-segan untuk menceritakan kehidupannya kepada banyak orang. Lagipula, berbagi itu menyenangkan, bukan?

Kai nampak mulai tertarik dengan pembicaraannya dengan Sooyoung. “Hanya berdua dengan Appa-mu? Bagaimana dengan Umma-mu?” tanya Kai bingung.

Sooyoung mendesah kecil. “Umma dan Appa-ku sudah bercerai. Jadi beginilah keadaan kami. Aku tinggal bersama Umma dan sudah jarang bertemu Appa,” jelas Sooyoung sedih.

Kai tersenyum kecil, lantas menepuk pudak Sooyoung pelan. “Gwaenchana. Kau adalah anak yang periang dan baik. Aku yakin, kau akan tetap bisa bahagian dengan atau tanpa keluarga yang utuh,” jelas Kai menenangkan. “Tidak sepertiku.”

“Eh?” Sooyoung terkejut. “A-ada apa dengan keluargamu?”

Kai menghela nafas panjang. Seketika, wajahnya berubah menjadi lesu. “Sejak kecil, aku lebih dekat dengan Umma, karena Appa adalah seorang pengusaha yang sangat sibuk. Selain itu, aku selalu merasa memiliki tanggung jawab untuk melindungi Umma, terlebih karena Umma menderita penyakit ginjal dan Appa tidak terlalu mempedulikan penyakit Umma,” jelas Kai.

Sooyoung menatap Kai dengan iba.

“Hingga akhirnya, Umma meninggal. Aku bisa melihat, bahwa Appa sangat menyesal karena tidak memperhatikan Umma. Tapi,” Kai menggigit bibirnya, seolah berusaha menenangkan diri supaya tidak terlalu larut dalam keadaan, “aku terlanjur membenci Appa. Appa jahat pada aku dan Umma.”

Kini, Sooyoung-lah yang menyentuh pundak Kai dan mengusapnya perlahan, memberikan ketenangan.

“Apa aku salah telaj bersikap seperti itu, Sooyoung-aa?” tanya Kai sambil menatap sayu ke arah Sooyoung.

Sooyoung nampak kebingungan mencari jawaban yang tepat. Ia sama sekali bukan seorang konsultan. Ia hanyalah seorang gadis biasa. “Hm, aku tak tahu, apakah jawabanku bisa membantu atau tidak. Tapi yang aku tahu, bagaimanapun sikap orang tuamu padamu, kau harus tetap menyayangi mereka. Sama seperti aku tetap menyayangi orang tuaku, meski mereka memutuskan untuk bercerai,” jelas Sooyoung panjang lebar.

Kai terdiam sejenak dan berusaha mencerna kalimat-kalimat Sooyoung. Hingga akhirnya, sebuah senyuman kecil terukir indah di wajah tampannya. “Gomawo, Sooyoung-aa. Gomawo,” bisiknya. “Aku, aku akan belajar menyayangi Appa.”

Sooyoung mengangguk antusias. ‘Ah, ternyata bocah ini memiliki masalah yang lebih pelik dibanding aku.’

.

“Kenapa selalu hanya kita bertiga yang hadir disini?” keluh Kai, sambil berkacak pinggang. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya, sambil menyapukan pandangannya ke seluruh sudut ruang latihan.

Sooyoung hanya mencibir kesal atas sikap sombong Kai. Well, Sooyoung memang turut sedih atas kehidupan keluarga Kai, namun sikap Kai yang kadang menjengkelkan itu tetaplah membuat Sooyoung jengkel. Tapi ia berpikir lagi bahwa sikap Kai yang seperti itu pasti terbentuk karena keluarganya. Sooyoung pun menghela nafas panjang untuk menenangkan diri dan meletakkan tasnya di sudut ruangan.

Yoona pun meletakkan tasnya di sudut yang sama dengan Sooyoung. Namun, matanya masih menatap takjub ke arah Kai. Ia sungguh sangat bersyukur atas kesempatan yang diberikan Tuhan padanya untuk mendekati Kai, tanpa terlalu banyak gangguan.

“Hei, hei, aku juga hadir disini,” celetuk sebuah suara yang muncul dari balik pintu masuk.

Sooyoung dan Yoona langsung serempak menoleh ke arah sumber suara.

“Ah, Luhan Sunbae!” seru Sooyoung, Yoona dan Kai bersamaan, sambil membungkukkan tubuh mereka.

Luhan terkekeh pelan. “Sudah kubilang, tak usah terlalu formal padaku!” seru Luhan mengingatkan. Luhan pun berjalan ke salah satu sudut yang bersebarangan dengan tempat Sooyoung dan Yoona. Ia pun meletakkan tas yang disandangnya di bahu. “Anak-anak yang berada di kelas ini sudah duduk di tingkat akhir. Makanya, mereka memutuskan untuk pindah ke kelas lain yang jadwalnya tidak terlalu mengganggu atau memilih untuk berhenti sejenak,” jelas Luhan, atas keluhan Kai.

Sooyoung, Yoona, dan Kai mengangguk paham sambil menggumamkan kata “oh”.

“So, shall we start?” tanya Luhan memastikan, sambil menunjukkan senyuman khasnya yang mempesona.

“Ne!” jawab ketiga murid itu kompak.

Luhan tersenyum puas. Ia menepukkan tangannya. “Baiklah, hari ini, aku akan melatih kalian untuk berdansa secara berpasangan.”

“MWO?!” Sooyoung dan Yoona nampak terkejut.

“Aish, kalian, para gadis, kenapa selalu bersikap berlebihan seperti itu?” gerutu Kai kesal. “Jadi, siapa yang harus berpasangan dengan siapa, Sunbae? Tidak mungkin kan, aku berpasangan dengan Sunbae?” tebak Kai.

Luhan terkekeh pelan. “Tentu saja tidak!” serunya. “Aku sudah memutuskan bahwa Kai akan berpasangan dengan Yoona. Sementara Sooyoung akan berpasangan denganku.”

DEG!

Kedua mata Yoona langsung dipenuhi binar-binar kebahagiaan.

Sementara Sooyoung?

Tentu saja, ia melongo.

.

“A-aku tidak pernah menari dengan seorang pria, Sunbae,” bisik Sooyoung sambil menundukkan kepalanya.

Luhan tertawa. “Kau menari dengan Kai kemarin,” celetuk Luhan.

“T-tapi, tidak secara berpasangan seperti ini!” protes Sooyoung, lantas mengerucutkan bibirnya karena Luhan seperti sedang menggoda dan mempermainkannya. Oke, seharusnya menari secara berpasangan bukanlah hal yang sulit. Hanya saja, ada yang sedikit berbeda jika kau harus menari dengan Luhan, seorang pria yang dikagumi oleh banyak wanita. Ssst, tapi ini bukan berarti Sooyoung tertarik pada Luhan, ya?

“Sudahlah, ayo kita mulai,” ajak Luhan, lantas menggandeng tangan Sooyoung. “Kau ingat dengan gerakan yang ku ajarkan padamu kemarin, kan?” tanya Luhan memastikan.

Sooyoung mengangguk dengan kepala yang masih tertunduk.

“Nah, kita akan mempraktekkan beberapa gerakan itu secara berpasangan,” jelas Luhan.

Sooyoung mengangkat wajahnya dan mengerjapkan matanya bingung. “T-tapi, bagaimana caranya?” tanyanya bingung.

Luhan tersenyum kecil. “Dengarkanlah alunan musiknya dan ikuti kata hatimu,” jelas Luhan. “Menarilah dari hatimu, Sooyoung-aa.”

Sooyoung menunduk, masih dengan segumpal keraguan yang memenuhi hatinya.

“Lihatlah, Kai dan Yoona sudah bisa melakukannya dengan baik,” kata Luhan sambil menunjuk ke arah Kai dan Yoona yang sudah mulai menari. “Ayo kita coba! Aku akan membantumu,” ucap Luhan mantap.

Sooyoung melirik ke arah Luhan, lantas mengangguk pelan.

“Nah, ayo,” ajak Luhan.

Sooyoung pun mulai membalas genggaman tangan Luhan. Tangan Luhan mulai mengarahkannya untuk melakukan beberapa gerakan. Telinga Sooyoung mendengarkan dengan seksama musik lembut yang sedang diputar saat ini. Mata Sooyoung mulai terpejam dan membiarkan nalurinya yang membimbing setiap gerakan yang dilakukannya dengan Luhan. ‘Ternyata, ini… ini sangat menentramkan jiwa.

.

“Kau menari dengan sangat baik hari ini,” puji Luhan pada Sooyoung yang berjalan beriringan di sampingnya.

Sooyoung tertunduk malu dan hanya berbisik, “Gomawo, Sunbae.”

Luhan tersenyum kecil.

Keduanya terus berjalan berdampingan hingga keluar dari gedung tari dalam keheningan. Sementara, Kai dan Yoona sudah memutuskan untuk pulang bersama, mendahului Sooyoung dan Luhan.

“Nah, apakah kau sudah dijemput?” tanya Luhan.

Sooyoung mengedarkan pandangannya sebentar. “Belum, Sunbae. Mungkin, Appa masih dalam perjalanan,” jelas Sooyoung.

Luhan tersenyum kecil. “Kalau begitu, aku akan menunggumu hingga kau dijemput,” celetuknya.

“Eh? Menungguku?” tanya Sooyoung tak percaya. “I-ini tidak perlu kok, Sunbae. Sungguh! Aku sudah terbiasa sendiri,” elak Sooyoung.

Luhan tertawa renyah. “Gwaenchana. Aku juga bisa bertemu dengan Appa-mu dan mengatakan padanya bahwa dia punya putri yang sangat berbakat dalam menari.”

Sooyoung tertunduk malu. Entah kenapa, Sooyoung masih berusaha bersikeras untuk menolak Luhan yang menunggunya hingga sang Appa datang. ‘Eh, kenapa ini terkesan seperti Luhan Sunbae adalah kekasihku yang ingin bertemu dengan Appa sebagai calon mertuanya?‘ pikir Sooyoung. Ia pun menggelengkan kepalana kuat-kuat, mengenyahkan semua pemikiran konyol tersebut.

“Sooyoung-aa, gwaenchana?” tanya Luhan sambil menyentuh lengan Sooyoung.

Sooyoung terjingkat kaget atas sentuhan Luhan.

“Sooyoung?” panggil sebuah suara.

Sooyoung langsung menoleh dan mendapati sang Appa yang sudah berdiri di depannya. “E-eh, Appa.” Gadis itu nampak salah tingkah.

“Ah, Annyeong, Ahjussi!” sapa Luhan pada Tao.

Tao mengulas sebuah senyuman. “Annyeong.”

“Ah, Sunbae, aku harus segera pulang dengan Appa! Sampai ketemu besok!” teriak Sooyoung, lalu segera menyeret sang Appa pergi.

Tao mengikuti langkah putrinya dengan agak terseok. “Hati-hati, Soo-ah.”
Luhan hanya mengernyit bingung melihat tingkah muridnya itu. ‘Ada apa dengan bocah itu?

.

“Huh.” Sooyoung menghela nafas panjang, lantas menyandarkan punggungnya ke kursi. Tangannya tergerak menuju rambutnya untuk memperbaiki ikatan rambutnya.

Tao menatap heran pada putrinya. “Ada apa denganmu, Sooyoungie? Kenapa kau bersikap aneh sekali hari ini?” tanyanya penasaran. “Ah, dan siapa pemuda itu? Hm, pasti dia adalah kekasih yang kita bicarakan waktu itu, ya?” goda Tao.

Sooyoung membelalakkan matanya. “Hah? Kekasih apa? Aku tidak pernah merasa membicarakan apapun tentang kekasih dengan Ayah!” protes Sooyoung tak suka.

Tao tertawa renyah melihat reaksi berlebihan putrinya. “Baiklah, Ayah mengerti. Jadi, bisakah kau menjelaskan, siapa pria itu, Soo?” tanya Tao.

Sooyoung menghela nafas panjang lagi. “Dia adalah pelatih di sekolah tari, Appa,” jelas Sooyoung.

“Oh.” Tao mengangguk mengerti. “Hm, tapi Ayah lihat, ia sempat memegang lenganmu tadi. Apakah kalian sedang berkencan?” goda Tao sekali lagi.

“Yak, Ayah! Sudah kubilang, ia hanyalah pelatihku. Tidak lebih!” seru Sooyoung, tidak peduli jika suaranya akan memenuhi dan mengganggu restoran yang sedang dikunjunginya.

Tao tertawa lagi. “Baiklah, Ayah percaya padamu, Soo,” balas Tao menyerah.
Sooyoung memalingkan wajahnya karena kesal atas sikap Ayahnya. Selain itu, ia juga harus mulai menjalankan misinya. “Seharusnya, Ayah yang terlebih dulu mencari kekasih,” cibir Sooyoung.

“Eh?”

Sooyoung kembali menatap Tao. “Ah, pasti sebenarnya, Ayah sudah memiliki seorang kekasih, tapi Ayah tidak mau mengenalkannya padaku, kan?” goda Sooyoung.

“E-eh, tidak! Sungguh, Soo! Ayah tidak memiliki kekasih,” tegas Tao.

Sooyoung mendekatkan wajahnya ke wajah sang Ayah. “Benarkah?”

“Benar!” seru Tao. “Kau tidak percaya pada Ayah?” tanya Tao.

Sooyoung kembali memalingkan wajahnya. “Kalau begitu, carilah kekasih!” perintah Sooyoung.

Tao membeku di tempatnya. Matanya menatap lekat-lekat ke arah Sooyoung.
Sooyoung kembali menatap sang Ayah. Ia bingung dengan ekspresi Ayahnya.

“K-kau serius, Soo?” tanya Tao lirih, tak percaya.

Sooyoung mendesah kecil. “Tentu saja,” balas Sooyoung.

“T-tapi, Ayah sudah punya kau. Ayah rasa, Ayah tidak―”

“―membutuhkan pendamping hidup?” sambung Sooyoung cepat. “Ayah, aku tak bisa berada di sisi Ayah selamanya, walau aku sangat ingin. Suatu saat nanti, aku pasti akan berpisah dengan Ayah. Nah, jika saat itu tiba, siapa yang akan mengurusi Ayah?” cerocos Sooyoung.

Tao terdiam.

“Tidak mungkin kan, Nenek yang akan selamanya mengurus Ayah. Bagaimanapun juga, Ayah perlu mencari kekasih, menikah, dan membangun keluarga baru,” lanjut Sooyoung.

Tao tertunduk. “Tapi, Soo…”

“Ayah…” panggil Sooyoung, lantas menggenggam tangan Tao yang berada di atas meja. “Aku hanya ingin melihat Ayah bahagia.”

“Tapi Ayah sudah cukup bahagia dengan keberadaanmu, Soo. Itu sudah cukup.”

Sooyoung tersenyum kecil. “Kalau Ayah tidak bisa melakukannya demi diri Ayah sendiri, lakukanlah demi aku, Yah. Lakukanlah demi kebahagiaanku, karena kebahagiaanku adalh melihat Ayah kembali memiliki pendamping hidup dan keluarga.”

Tao menatap lekat-lekat ke arah putrinya.

Sooyoung membalas tatapan mata Ayahnya. Dalam hati ia terus berdoa, ‘Kumohon, Yah. Kumohon.

.

Ny. Huang sedang terduduk di ruang keluarga sambil membaca sebuah majalah dengan tenang. Sesekali, ia meminum teh hijau yang telah disiapkan oleh maid untuknya.

“Ibu…”

Ny. Huang tahu, hanya satu orang yang memanggilnya “ibu”. Yah, siapa lagi, kalau bukan Huang Zhi Tao. Ia langsung mencari sosok putranya, yang ternyata baru saja tiba dari arah pintu masuk. Ny. Huang bisa menangkap dengan jelas gurat0gurat kelelahan dalam wajah putranya itu. “Tao, kau baik-baik saja?” tanya Ny. Huang memastikan. Ia langsung menghampiri Tao.

Tao mengangguk kecil. “Ibu, mengenai perjodohan itu…”

Ny. Huang menaikkan kedua alisnya, menunggu ucapan Tao.

“…aku bersedia menerimanya. Asalkan, beri aku kesempatan untuk bertemu dengan wanita itu dulu,” jelas Tao.

Ny. Huang sangat senang mendengar pernyataan putranya. Namun, ia berusaha menyembunyikan kegembiraan itu, karena melihat ekspresi murung Tao. Ia pun berusaha terlihat simpatik pada putranya. “Kau bersungguh-sungguh, Tao? Kau tidak keberatan?” tanya Ny. Huang dengan hati-hati.

Tao tersenyum kecil. “Ya, aku tak apa, Bu,” balas Tao. “Tolong, aturkan segalanya sehingga aku bisa bertemu dengan wanita itu,” pintanya. “Maaf Bu, aku sangat lelah. Bisakah aku pergi ke kamar sekarang?”

Ny. Huang mendesah kecil. “Baiklah,” balasnya. “Istirahatlah yang cukup, Tao,” katanya mengingatkan.

Tao mengangguk lemah, lantas berjalan menuju kamarnya.

Ny. Huang menatap punggung putranya yang semakin menjauhinya. Ia memang merasa sangat senang karena Tao menerima perjodohan tersebut.

Namun ia juga merasa seperti…

…iblis yang telah merenggut kebahagiaan Tao.

.

Tao merapikan jas biru gelap yang dikenakannya, setelah ia menjejakkan kakinya di sebuah cafe sederhana di kawasan pusat kota Seoul. Ia hendak bertemu dengan wanita yang dipilihkan oleh ibunya, sebagai calon pendamping hidupnya. Tao mengedarkan pandangannya kesana kemari, mencari seorang wanita dengan rambut ikal dan panjang yang mengenakan sebuah gaun berwarna hijau tosca.

BINGO!

Tao menemukan seorang wanita yang duduk di dekat meja kasir, tengah membaca sebuah buku kecil. Tao pun segera menghampiri wanita itu. “Hm, annyeong,” sapa Tao ragu.

Wanita itu mendongak dan menatap Tao dengan sepasang mata yang indah. Ia nampak takjub setelah melihat sosok Tao. “Ah, Anda pasti Tuan Huang?” tanya wanita itu memastikan.

Tao mengangguk. “Ne, aku Huang Zhi Tao,” ucapnya memperkenalkan diri. “Kau pasti diminta Umma-ku untuk datang kemari, ne?”

Wanita itu tersenyum manis pada Tao. “Ne,” balasnya. “Ah, silakan duduk, Tuan Huang,” katanya.

Tao menggumamkan kata “gomawo” lantas terduduk di atas kursi. “Ah, maaf. Saya belum mengenal nama Anda. Siapa nama Anda?” tanya Tao sopan.

Wanita itu kembali tersenyum. “Tiffany Hwang imnida.”

TBC

/guling guling/

Sekali lagi, aku minta maaf, karena telat update ff ini, padahal udah janji sama kalian buat update hari Selasa. Pas hari Selasa, aku ngambil SKHU di sekolah. Dan pas di sekolah, aku nggak ketemu sama temenku yang mau ngobatin si Minyu. Hiks 😥 Jadinya, si Minyu masih sakit dan aku masih harus ngetik lewat wordpad. Aku mau pinjem laptopnya ayahku, tapi aku nggak tahan sama resolusi layarnya yang ketinggian (padahal udah aku taruh di skala minimum). Jadinya, aku harus tetap bertahan dengan Minyu.

Nah, gimana nih, chapter 3B-nya? Hohoho ^o^

Next chap, aku bakalan nambah momen SooHan dan Tao-Tiffany. Selain itu, aku juga mau mengungkap perasaan Yuri sama Tao. Dan buat yang penasaran, alasan TaoYul bercerai, mungkin harus nahan sampai ending cerita ini. Biar jadi surprise gitu :3 Dan sepertinya, ff ini akan berakhir di chapter 5 + epilog. Kalian puas? Wkwkwkwk~

Dan buat yang nunggu AS-nya Serendipity, mungkin akan aku update hari Senin, setelah aku lihat pengumuman untuk murid yang lolos masuk SMA 😀

Jadi, dalam waktu dekat ini, aku bakalan update Mr. and Mrs. Huang dulu ^^

Well, don’t forget to leave your trail, even it’s just a letter 🙂

Love,

Jung Minrin

19 responses to “[Mini Series] Extraordinary Love – Chapter 3B

  1. Pingback: Extraordinary Love – Chapter 3B – Choi Sooyoung's Indonesian Fanfictions·

Mind to Leave Your Trail?