[Ficlet] Gra(lo)ve

Gra(lo)ve

Gra(lo)ve

by

Jung Minrin (@reddsky_10)

EXO-M Luhan || Park Chaerin (OC) || TVXQ Changmin || SNSD Jessica

Length : Ficlet || Rating : PG-15 || Genre : Romance, Fluff, a lil bit Sad

Inspired by :

my grandparents :’)

Disclaimer :

The casts are not mine, but the plot is truly mine

So, don’t dare to take it without my permission

Thanks to :

my family, for inspiring me to write this fic

Author Note :

I hope you enjoy and like this. Don’t forget to give me some feedbacks.

The rest, happy reading to you all ^^

.

I know, we are mortal, but our love is truly immortal

.

Selalu ada kisah di balik sebuah tempat penuh kenangan. Entah itu kisah yang indah ataupun kisah yang menyedihkan.

Dan bagi pria manis bernama Xi Luhan, Namsan Park merupakan sebuah tempat yang penuh dengan kenangan manisnya bersama gadis pujaan hatinya, Park Chaerin.

Sayangnya, seluruh kenyataan itu harus dipatahkan oleh seorang pria bernama Shim Changmin.

BUAGH!

“Jauhi calon istriku!” bentak Changmin pada Luhan, setelah melayangkan kepalan tangannya pada wajah Luhan. Nafasnya terengah dan tak teratur. Wajah tampannya nampak memerah, karena berusaha menahan emosinya sebelum kembali meledak dan menjadi lebih besar lagi. Sepasang bambi eyes-nya nampak berkilat-kilat penuh amarah.

“Changmin-ssi!” seru Chaerin yang segera bangkit dari duduknya di atas kursi taman. Tangan-tangan mungilnya berusaha menahan lengan kekar Changmin untuk tidak kembali melukai pria yang dicintainya itu. “Hentikan,” bisiknya pelan.

Changmin menoleh cepat ke arah Chaerin. “Tidak, sampai pria brengsek ini berjanji untuk tidak mendekatimu lagi, Park Chaerin,” desis Changmin. Giginya menggertak, sehingga terdengar suara kecil dari dalam mulutnya, tanda bahwa ia sudah sangat geram.

Sementara itu, Luhan yang jatuh tersungkur di atas tanah berlapis rumput hijau yang masih basah itu pun mencoba bangkit dan mendudukkan tubuhnya di atas tanah. “Huh! Kau sebut aku apa? Brengsek?” tanyanya dengan suara yang meremehkan.

Changmin langsung kembali menoleh ke arah sumber suara tersebut.

Sebelum Changmin sempat berkomentar lagi, Luhan segera menyambung kalimatnya. “Mana yang lebih brengsek, pria yang mencintai kekasihnya sendiri atau pria yang memaksa kekasih orang lain untuk menikah dengannya?” tanya Luhan dengan suara yang rendah dan dalam.

Mata Changmin pun kembali dipenuhi kilatan. Sepertinya, Changmin tahu bahwa Luhan sedang berusaha menyindirnya. “Beraninya kau…” desisnya dan bersiap mengayunkan pukulannya ke perut Luhan.

“Shim Changmin!” Chaerin langsung menarik kuat-kuat tubuh Changmin dan membalik tubuh pria jangkung itu agar menghadapnya. Chaerin segera memberikan pelukan erat pada tubuh Changmin. “Changmin-ssi, hentikan, hentikan ini,” mohonnya, sambil terisak pelan.

Changmin tertegun. Ia menunduk menatap Chaerin yang memohon sambil menangis di pelukannya. Tegakah ia melihat gadis yang dicintainya itu menderita seperti ini? Changmin mengusap puncak kepala Charein dengan penuh rasa sayang. “Ne, maafkan aku, Park Chaerin. Maafkan aku…” balas Changmin, lantas memberikan pelukan pada tubuh mungil Chaerin.

NYUT~

Kepala Luhan berputar pelan. Dadanya berdenyut sakit. Entah kenapa, seluruh organ tubuhnya terasa ngilu hanya karena menyaksikan pemandangan di depan matanya. Seharusnya, ia sadar, bahwa Chaerin mencintainya, hanya dia. Dan tidak seharusnya ia cemburu pada pria Shim itu. Lantas, apa yang membuatnya merasa sakit hati?

“Changmin-ssi, mari kita pulang sekarang.”

Suara Chaerin membuyarkan lamunan Luhan. Mata Luhan memandang kosong ke arah Chaerin dan Changmin yang masih saling berpelukan.

“Arrasseo,” balas Changmin pelan. Untuk yang terakhir kalinya pada hari itu, Changmin menoleh ke arah Luhan dan berkata, “Hari ini, kau selamat, Xi Luhan. Tapi lain waktu, aku tak berjanji bahwa aku tidak menarik pelatuk revolverku dan mengarahkannya tepat ke jantungmu, jika kau masih mendekati calon istriku.”

Luhan hanya terdiam dan tak merespons apapun atas ancaman Changmin. Pandangannya masih kosong.

“Ayo pulang, Chaerin.” Dan Changmin pun menuntun Chaerin untuk pergi meninggalkan Luhan yang terduduk di atas rerumputan Namsan Park.

.

“Apakah kau bertengkar lagi dengan Changmin?” Jemari tangan Jessica dengan sabar mengusapkan obat antiseptik pada luka lebam yang tertoreh pada wajah Luhan.

“Auw.” Luhan meringis karena merasakan nyeri di pipi kanannya yang sempat ditonjok oleh Changmin tadi siang.

“Apakah sakit?” tanya Jessica.

“Tentu saja,” gerutu Luhan pelan. “Pria Shim itu benar-benar sangat kuat, Jess,” gumamnya memberitahu, sambil mengingat pukulan Changmin yang sangat keras dan kuat. Belum lagi, rasa ngilu yang tertanam di pipinya dan masih berdenyut hingga sekarang.

Jessica tertawa pelan. “Maka dari itu, kau harus lebih kuat darinya,” celetuk Jessica. “Bagaimana mungkin kau bisa merebut Chaerin jika kau lebih lemah dari Changmin?” sindir Jessica.

Luhan mendesis pelan. “Bukannya aku lemah. Aku hanya tak siap dengan serangannya. Asal kau tahu, dia itu asal pukul,” jelasnya dengan nada yang manja.

“Arra, arra, aku mengerti.” Jessica mengangguk paham. “Nah, selesai.” Jessica nampak puas karena telah berhasil mengobati luka Luhan. “Bagaimana? Apakah masih terasa sakit?” tanya Jessica.

Luhan menyentuh lukanya sekilas. “Yah, rasanya masih sedikit nyeri,” ucapnya.

“Kau harus beristirahat agar lukamu lekas sembuh,” tutur Jessica.

Dan Luhan membalasnya dengan sebuah anggukan. “Gomawo, Jessica. Selama ini, kau selalu bersedia membantuku.”

Jessica adalah sahabat baik Luhan sejak kecil. Ia adalah salah satu saksi atas perjalanan cinta Luhan dan Chaerin. Maka dari itu, Jessica juga paham dengan cinta segitiga yang terjadi di antara Luhan, Chaerin dan Changmin. Dan sebagai sahabat Luhan, Jessica berusaha mendukung dan membantu Luhan.

Jessica tersenyum kecil pada Luhan. “Itulah gunanya seorang sahabat, Xi Luhan.”

.

Changmin sudah berdiri di balik pintu kamar Chaerin. Ia nyaris mengetuk pintu kamar Chaerin, jika saja ia tak mendengar isak tangis dari dalam kamar Chaerin. Dan Changmin mengenal dengan baik isak tangis tersebut sebagai milik dari calon istrinya. Ia pun mengurungkan niatnya untuk memanggil Chaerin dan kini ia mendengarkan dengan seksama suara-suara Chaerin di dalam kamarnya.

“Maafkan aku, Luhan. Maafkan aku.”

DEG!

Changmin merasa jantungnya nyaris berhenti berdetak. Ia memang tahu bahwa akan sangat sulit untuk mengubah perasaan Chaerin pada Luhan, begitu pula sebaliknya. Mereka berdua sudah saling mengenal sejak kecil dan menjalin asmara sejak remaja. Namun, bagaimanapun juga, Changmin merasa, sebagai seorang pria, ia pun berhak mencintai dan mendapatkan cinta dari seorang gadis. Dan sayangnya, gadis itu sudah menjadi milik Luhan.

Memangnya, apakah karena Changmin tak memiliki kesempatan seluas Luhan, hal itu membuat Changmin tak bisa memiliki Chaerin?

Jawabannya tidak. Karena buktinya, saat ini pun, Changmin berhasil merebut Chaerin dari sisi Luhan, meski dengan cara terkeji sekalipun. Sebutlah Changmin licik atau kejam, karena ia tak peduli, asalkan Chaerin berhasil menjadi miliknya. Ia bahkan rela membuat keluarga Chaerin jatuh bangkrut hanya agar keluarga Chaerin mengemis harta padanya. Dan tentu saja, bantuan yang diberikan Changmin tidaklah gratis dan harus dengan imbalan, yakni Chaerin, gadis yang dipujanya sejak lama.

Mudah sekali, bukan?

Namun, entah kenapa, akhir-akhir ini, pertahanan Changmin mulai melemah. Rantai yang mengikat sisi baik dari seorang Shim Changmin mulai rapuh dan siap dipatahkan kapan saja. Ia tak yakin bahwa ia akan bertahan untuk menahan Chaerin untuk bertahan di sisinya lebih lama. Buktinya, hatinya mulai berdenyut sakit, ketika mendengar dan melihat penderitaan yang dialami Chaerin.

Tidak. Denyut sakit itu bukanlah rasa cemburu. Changmin yakin betul akan hal itu, karena ia bisa merasakannya sendiri. Rasa yang dirasakannya saat ini sama sekali bukan rasa cemburu, melainkan rasa sedih karena separuh hatinya yang sedang menderita.

Changmin menyentuh dada kirinya, berharap hal itu bisa meredam rasa sakit di dadanya. Matanya terpejam. Otaknya memerintahkan paru-parunya untuk memasok udara secara teratur. Sialnya, rasa sakit yang mendera dadanya itu tak kunjung pergi, seiring dengan isakan yang keluar dari bibir Chaerin.

Selama ini, Changmin dididik oleh keluarganya untuk tidak melepaskan hal yang telah dicapainya dengan susah payah, termasuk Chaerin. Tentu saja, Changmin tak ingin melepaskan Chaerin begitu saja. Hanya saja, ada sisi lemah dalam dirinya yang memerintah untuk melepaskan Chaerin dan membiarkan gadis itu bahagia dengan pilihannya sendiri.

Changmin termenung dan terdiam di posisinya untuk waktu yang cukup lama. “Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?”

.

“A-annyeong, Changmin-ssi.” Chaerin membungkuk hormat ke arah Changmin yang sudah terduduk di atas salah satu kursi restoran yang dikunjungi mereka berdua. Sekejam-kejamnya Changmin, Chaerin tetap harus menghormati pria Shim yang telah menyelamatkan keluarganya dari himpitan ekonomi itu. Meski begitu, tetap tersirat rasa ketakutan setiap kali berhadapan dengan pria ini.

“Annyeong,” balas Changmin dengan suara yang terdengar hangat dan ramah. “Duduklah, Chaerin-ah,” perintah Changmin lembut.

Chaerin mengangguk sekilas, lantas menarik kursi dan segera duduk.

“Jadi, apa yang membuatmu ingin bertemu denganku?” tanya Changmin penasaran.

Semalam, Chaerin memang sempat menghubungi Changmin dan memberitahukan bahwa ia ingin bertemu dengan Changmin. Keduanya pun sepakat untuk bertemu di restoran di dekat kantor Changmin pada jam makan siang. Chaerin ingin membicarakan sesuatu yang menyangkut hidup-matinya dan masa depan mereka berdua. “Changmin-ssi, aku…”

“Chaerin-ah.” Suara Changmin menginterupsi.

“Ne?”

“Bisakah kau berhenti memanggilku ‘Changmin-ssi’? Bagaimanapun juga, kau adalah calon istriku dan kau harus menghilangkan embel-embel semacam itu,” tegas Changmin.

Chaerin mengangguk paham. Ia tahu, bahwa perintah Changmin sama sekali tak bisa dibantah.

“Jadi, ada apa?” tanya Changmin sekali lagi.

“Jadi, begini, Changmin-ah…” Lidah Chaerin merasakan ketidaknyamanan ketika memanggil Changmin dengan panggilan ‘Changmin-ah’. Meskipun status mereka adalah sebagai sepasang ‘kekasih’, hanya saja, mereka memang belum terlalu akrab. “Aku mohon maaf atas semua sikapku selama ini.” Chaerin menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Changmin menautkan kedua alisnya heran.

“Aku mohon maaf, karena aku masih menjalin hubungan dengan Luhan. Semua ini salahku dan tak seharusnya kau menyalahkan dia,” jelas Chaerin.

Changmin masih terdiam.

Chaerin memberanikan diri untuk mendongakkan kepalanya dan menatap mata Changmin dengan matanya yang mulai digenangi oleh air mata. “Aku harap, kau bisa menerimaku kembali. Kumohon Changmin-ah, ajari aku untuk mencintai dan menerima kehadiranmu disisiku,” mohon Chaerin, meski dadanya terasa sangat sakit ketika mengucapkan permintaan tersebut pada Changmin. Batinnya meronta karena apa yang meluncur dari bibirnya, sama sekali tidak sesuai dengan apa yang dirasakan hatinya. Di dalam hatinya, jelas-jelas, Chaerin masih sangat mencintai Changmin. Namun, demi kebaikan semua orang, Chaerin berharap bisa menjalin hubungan yang baik dengan Changmin dan melupakan Luhan.

Changmin masih terdiam selama beberapa detik. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia tak percaya atas apa yang Chaerin ucapkan. Namun, tak lama, Changmin pun tersenyum kecil. “Ne, dengan senang hati, Chaerin-ah.”

.

Luhan mengeratkan jaket berwarna hitam yang dikenakannya untuk menghalau udara dingin yang menusuk kulitnya yang agak sensitif itu. Sesekali, ia menggigil pelan, karena angin musim gugur di Seoul yang sangat dingin. Matanya memandang ke sekitar Namsan Park dari bangku taman yang biasa dikunjunginya dengan Chaerin. Kini, ia sedang menunggu Chaerin yang mengajaknya bertemu dan ingin membicarakan sesuatu. 10 menit sudah berlalu sejak waktu perjanjian mereka, namun Luhan akan setia menunggu gadis itu.

“Luhan…” Sebuah suara yang lembut memecahkan keheningan.

Luhan mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum menyadari bahwa Chaerin sudah berdiri di hadapannya. “Chaerin-ah…” balasnya dengan sebuah gumaman. “Duduklah…”

Chaerin menggeleng lemah. “Maaf, aku tak bisa berlama-lama disini,” ucapnya yang terdengar penuh sesal.

“Eh?” Luhan mengernyit bingung.

“Aku hanya ingin menyampaikan satu hal padamu,” ucap Chaerin pelan, sambil menundukkan kepalanya. “Aku ingin mengakhiri hubungan kita, karena aku akan menikah dengan Changmin,” lanjutnya. Kepalanya kembali terdongak. Irisnya yang berwarna cokelat karamel itu bertemu dengan sorot teduh milik Luhan.

“A-apa katamu?” Luhan merasa tertohok.

Chaerin memberanikan diri untuk menatap dalam-dalam mata Luhan. “Aku yakin, kau sudah mendengarnya,” tegasnya. “Kumohon, jalani saja semua ini. Aku melakukan ini demi kebaikan semua orang, terutama demi kebaikanmu, Xi Luhan,” jelas Chaerin.

Luhan terdiam. Lidahnya kelu untuk berkata-kata.

“Aku permisi dulu, Luhan,” ucap Chaerin. “Annyeong,” pamitnya, lantas pergi berlalu meninggalkan Luhan.

Entah hanya perasaannya atau apa, di dalam kediamannya, Luhan mampu menangkap setitik kristal bening yang mengalir di wajah Chaerin.

Chaerin menangis?

.

“Dia meninggalkanku demi pria itu, Sica-ya…”

Jessica mengernyit bingung, ketika tiba-tiba, Luhan datang ke apartemennya dengan wajah yang kusut dan penuh kesedihan. Jessica mengusap lembut punggung sahabatnya itu. “Tenanglah, Luhannie. Chaerin pasti melakukan semua ini demi kebaikan kalian semua,” ucap Jessica, berusaha menenangkan pria periang yang kini tampak begitu rapuh itu.

“Dia bilang bahwa dia mencintaiku, Sica-ya. Lantas, kenapa sekarang ia justru meninggalkanku dan memutuskan menikahi pria itu?” racau Luhan. “Apa lagi alasannya kalau bukan demi kekayaan yang dimiliki oleh Changmin?”

Jessica menggeleng lemah. Ia sama sekali tak menduga bahwa sahabatnya ini akan berpikiran sesempit itu. “Aniyo, Xi Luhan. Chaerin melakukan semua ini, meninggalkanmu dan menikahi Changmin, demi keselamatanmu juga,” jelas Jessica.

Luhan menatap lekat-lekat ke arah Jessica. “Begitukah?”

Jessica mendesah kecil. “Aku memang tak mendengarnya secara langsung dari Chaerin. Hanya saja, jika Chaerin benar-benar tulus mencintaimu, alasan itu adalah alasan yang paling tepat untuk kasus kalian,” jelas Jessica.

Luhan tertunduk dan mulai merenung.

“Xi Luhan, jika kau mencintai Chaerin, biarkanlah dia pergi,” ucap Jessica.

Luhan mendongak dan kembali menatap Jessica.

“Karena jika Chaerin adalah jodohmu, maka dia akan kembali lagi padamu.”

.

“Park Chaerin, apakah Anda bersedia mendampingi Shim Changmin dalam suka maupun duka, dalam kaya maupun miskin, dan dalam sehat maupun sakit?”

Park Chaerin. Gadis bertubuh mungil dengan paras cantik yang sedang mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang sangat indah itu pun mendongakkan kepalanya, menatap pendeta yang berdiri di hadapannya. Ekor matanya melirik sekilas ke arah Changmin, sang penganting pria yang berdiri tepat di sampingnya.

Pria itu sudah mengucap janji bahwa ia akan setia pada Chaerin.

Dan kini adalah giliran Chaerin. Apa jawaban Chaerin?

“Ne, saya bersedia.” Chaerin mengucapkan kalimat itu dengan penuh keyakinan, meski hatinya merasa sedikit sakit. Bagaimanapun juga, ia sudah berjanji pada Changmin untuk belajar mencintai pria itu dan pria itu dengan senang hati membuatnya jatuh hati.

“Dengan begitu, kalian adalah pasangan suami-istri yang sah di mata agama dan hukum.”

PROK! PROK! PROK!

Seluruh tamu undangan yang menghadiri pernikahan Chaerin dan Changmin bertepuk tangan dan bersorak bahagia.

“Pengantin pria dipersilakan mencium pengantin wanita,” ucap sang pendeta.

Changmin memutar tubuhnya, sehingga menghadap ke arah Chaerin. Ia menarik tubuh Chaerin perlahan dan mendekatkan wajahnya ke wajah Chaerin. Bibirnya mengecup sekilas bibir lembut milik Chaerin.

Dan tamu undangan pun kembali riuh.

.

35 years later…

“Jessica Jung?” Seorang pria paruh baya bertubuh jangkung dengan tinggi sekitar 190 cm itu menghampiri seorang wanita seumuran dengannya yang tetap terlihat cantik yang sedang terduduk di atas sebuah bangku taman.

Wanita yang dipanggil dengan nama ‘Jung Sooyeon’ itu menoleh ke arah sumber suara. Ia tersenyum kecil ketika menyadari sosok yang memanggil namanya. “Changmin-ah…” balasnya lembut. “Berhenti memanggilku Jessica. Aneh sekali rasanya, jika kau memanggilku Jessica, sementara umurku sudah nyaris mencapai 60 tahun,” guraunya.

Pria jangkung bernama Changmin itu pun tertawa pelan. “Bolehkah aku duduk disini?” gumamnya.

Jessica mengangguk dan menggeser duduknya, untuk memberi ruang bagi Changmin.

“Ngomong-ngomong, kecantikanmu tetap tidak berubah, Sica-ya,” balas Changmin atas ucapan Jessica sebelumnya.

Jessica tertawa. “Aku tak pernah lebih cantik dari Chaerin, kan?” tebak Jessica. Jessica tentu tahu bahwa bagi Changmin, Chaerin adalah segalanya.

“Hm…” Changmin hanya membalasnya dengan gumaman. Kepalanya mendongak dan wajahnya menghadap ke arah hamparan langit biru di atas sana.

“Bagaimana kabar Chaerin sekarang, Changmin-ah?” tanya Jessica dengan suara lembutnya yang tak pernah berubah sejak muda.

Changmin menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. “Dia…” Changmin kembali menarik nafas. “Aku yakin, dia sangat berbahagia, Sica-ya. Dia sudah bersatu kembali dengan pria yang dicintainya sejak lama,” ucap Changmin tenang.

Jessica menoleh ke arah Changmin dan menatap wajah pria itu lekat-lekat. “Kau sudah menemui mereka lagi?” tanya Jessica.

Changmin membuka matanya dan menoleh ke arah Jessica. Pria itu menunjukkan sorot matanya yang begitu teduh. “Kemarin, aku mengunjungi mereka,” jawabnya. “Mereka senantiasa berdampingan. Dan sepertinya, hubungan Chaerin dan Luhan tidak akan seribut hubunganku dengan Chaerin. Mereka terlihat sangat tenang,” jelas Changmin sambil tersenyum penuh kedamaian.

Jessica pun ikut tersenyum. “Changmin-ah…”

“Ne?”

“Bisakah kau mengantarku untuk bertemu mereka lagi? Aku benar-benar merindukan mereka.”

.

“Annyeong, Luhannie, Chaerin-ah.” Jessica tersenyum kecil, ketika menyapa dua sahabat lamanya yang kini sudah dipersatukan kembali.

Changmin memperhatikannya dengan senyuman kecil yang terkembang di wajahnya.

“Chaerin-ah, aku membawakan bunga mawar putih untukmu. Kata Changmin, kau sangat menyukai bunga ini,” ucap Jessica, lantas menunjukkan seikat bunga mawar putih yang sangat cantik. “Luhannie, aku tak salah, bukan?” tanya Jessica.

Tak ada suara yang menyahut.

“Jika kau mencintai Chaerin, lepaskanlah dia.” Mata Jessica mulai berkaca-kaca. “Karena jika kalian memang ditakdirkan untuk bersama, suatu saat nanti, kalian pasti bisa bersatu kembali,” lanjutnya. Kali ini, air mata sudah menetes dan mengalir di pipi Jessica. Jessica pun mengusap lembut air mata tersebut. “Dan kalian memang dipersatukan kembali.”

Terjadi hening yang sangat lama.

“Dalam keabadian,” lanjut Jessica di hadapan dua nisan yang berdampingan.

Rest in Peace

beloved son, brother, and friend

Xi Luhan

__________________________________________

Rest in Peace

beloved daughter, sister, friend, and wife

Park Chaerin

.

EPILOGUE

in another dimension

“Aku sungguh tak menyangka, Chaerin-ah.”

“Apa?”

“Kupikir, Namsan Park adalah tempat yang paling bersejarah dan penuh kenangan bagi kita.”

“Lalu?”

“Ternyata, disinilah tempat bersejarah kita, tempat yang tak akan lekang termakan waktu.”

“Tempat ini adalah keabadian.”

FIN

Annyeong, Dee balik lagi 🙂

Leave your review, please…

Love,

Jung Minrin

2 responses to “[Ficlet] Gra(lo)ve

Mind to Leave Your Trail?