[Series] My Sister’s Keeper – Prologue

my-sisters-keeper-jung-minrin-storyline

My Sister’s Keeper

PROLOGUE

by

Jung Minrin (@reddsky_10)

DBSK Yunho || A Pink Eunji || 2NE1 Sandara || MBLAQ Thunder || Go Ahra

JYJ Yoochun || Kenichi Matsuyama (OC)

Length : Series || Rating : PG-17 || Genre : Family, Friendhsip, Romance, Sad, Psycho

Inspired by :

other fanfictions, mangas, and movies

Dedicated to :

everyone who believe in second chance

.

Jung Yunho ingin menebus kesalahannya pada sang adik, Jung Eunji, sebelum ia mengalami penyesalan tiada akhir di sisa hidupnya.

Namun, sanggupkah Yunho menerima kenyataan bahwa adiknya memiliki kelainan self injury?

.

Seoul, South Korea

Jung Yunho memutar-mutar gelas piala yang separuhnya masih berisi wine kesukaannya. Sungguh, ia bukanlah seorang penggemar minuman beralkohol. Ia menyukai wine, karena wine bisa membantu untuk menghangatkan tubuhnya, terutama di tengah musim dingin yang sedang menghantam Korea Selatan dan negara-negara lainnya di kawasan subtropis bagian utara. Bahkan, ia pun mengunjungi bar atau club malam seperti sekarang hanya untuk melepas penat dengan ‘caranya’ sendiri.

PUK

Seseorang menepuk pelan pundak Yunho.

Pria bermata musang itu memutar kepalanya ke belakang dan mendapati seorang pria sebaya yang telah berdiri di belakangnya. “Yo, Chun!” gumamnya, ketika mengenali sosol tersebut, di bawah pengaruh alkohol.

Pria dandy berjidat lebar itu menyeringai, lantas menepuk-nepuk pundak Yunho. Ia segera meloncat dan duduk di kursi tinggi di samping Yunho, sebelum gadis-gadis yang senantiasa melempar pandangan lapar pada Yunho menempati kursi itu. “Lama tak berjumpa denganmu, Brother.” Suaranya terdengar sangat fasih dalam mengucapkan bahasa Inggris dan meninggalkan aksen khas Korea.

“Hm…” Yunho bergumam pelan, lantas kembali menenggak habis wine miliknya yang masih tersisa. “Aku bertaruh demi Shizu Electro bahwa kau mencariku kesini dengan alasan khusus, dan bukannya atas suatu ketidaksengajaan,” celetuk Yunho. Bekerja sebagai seorang selebriti, aktor dan penyanyi yang dikenal di semenanjung Korea dan kepulauan Jepang, membuat ia sering bertemu dengan banyak orang. Bahkan, waktu yang dihabiskannya untuk mengelola bisnis besar tidak bisa mengajarinya banyak mengenai karakteristik seseorang, apalagi motif dibalik setiap tindakan, seperti yang dilakukan oleh pria dandy di sampingnya ini. Belum lagi, fakta bahwa Yunho mengenal baik pria itu, yang tak lain dan tak bukan adalah Park Yoochun, saudara sepupunya sendiri, membuat Yunho semakin mudah menebak jalan pikirnya. “Hei, aku memesan wine segelas lagi!” seru Yunho pada bartender.

“Hei, hei, ingatlah bahwa lambungmu sedikit bermasalah, Jung!” tegur Yoochun.

Yunho menarik sudut bibirnya, tanda meremehkan. “Hanya sedikit, bukan? Segelas wine tak akan berpengaruh banyak untukku,” ungkap Yunho. Ya, Yunho memang memiliki gangguan pada sistem pencernaannya, sehingga lambungnya itu sangat sensitif pada asupan yang disantap Yunho. Namun, Yunho sudah mengalami hidup yang lebih keras, dibanding sekedar mengalami rasa sakit pada lambungnya.

Yoochun hanya bisa mendengus pelan. Ia sangat hafal dengan watak Yunho yang sulit dibantah. Bagaimanapun Yunho menolak kenyataan bahwa ia adalah salah satu anggota keluarga Jung, namun fakta bahwa hampir sebagian besar sifat keluarga Jung mengalir dalam tubuhnya memang tak terelakkan, termasuk dalam bagian ‘sulit dibantah’. “Dan kau menyebut-nyebut Shizu Electro? Bukankah mereka adalah saingan Jung Industries?” tanya Yoochun bingung. Meskipun ia adalah sepupu Yunho dan ibunya adalah adik kandung ayah Yunho, namun semenjak ibunya menikah dengan pria bermarga Park, status Yoochun bukan lagi sebagai anggota keluarga Jung, melainkan anggota keluarga Park, sehingga Yoochun tidak berhak atas sepeserpun harta keluarga Jung. Namun, menghabiskan hampir seluruh hidupnya bersama Yunho, membuatnya paham betul dengan seluk beluk dunia bisnis yang ditekuni keluarga Jung, termasuk dengan musuh-musuh keluarga Jung, seperti Shizu Electro.

“Dididik untuk menjadi penguasa licik selama belasan tahun oleh Kakek, membuatku mudah mendapatkan Shizu Electro,” jawab Yunho santai. Matanya nyaris terpejam, karena pengaruh alkohol yang semakin mengusasi tubuhnya.

Yoochun menelan ludahnya dengan susah payah. Meskipun Yunho terlihat sudah dipengaruhi alkohol, namun Yunho memiliki pengendalian diri yang cukup baik, sehingga ucapannya masih terkontrol dan dapat dipercaya. Yoochun tahu betul setiap detail kebencian Yunho pada keluarga Jung. Bahkan, sepupunya itu berulang kali mengumpat kasar pada keluarga Jung mengenai bisnis keji yang mereka jalankan. Dan tentu saja, Yunho membenci kenyataan bahwa ia telah menjadi salah satu bagian dari mereka. Yoochun tak ingin berkutat pada pembicaraan mengenai dunia bisnis keluarga Jung, karena semuanya pasti akan kedengaran sangat mengerikan, apalagi jika dituturkan oleh mulut Yunho yang terkesan begitu apa adanya, berbeda dengan anggota keluarga Jung lainnya yang berusaha menutupi kebejatan mereka.

“Jadi,”

“Ini wine Anda, Tuan.” Sang bartender menyela ucapan Yunho dengan menyerahkan wine yang dipesan Yunho.

“Ah, terima kasih,” gumam Yunho pelan. “Hei Chun, kau tak ingin memesan sesuatu?” tawar Yunho.

“Tidak, terima kasih,” tolak Yoochun halus.

“Hm, jadi, apakah kau memang datang kesini dengan tujuan khusus?” tanya Yunho sekali lagi.

Yoochun terdiam sejenak, lantas menjawab, “Begitulah, Yun. Paman Il Woo yang memintaku untuk menemuimu.”

Gerakan tangan Yunho yang mengarahkan gelas berisi wine ke dalam mulutnya itu pun terhenti. Ia menghentakkan gelas piala tersebut dengan cukup keras ke atas meja bar. Jemarinya mencengkram erat gelas tersebut, hingga terdengar suara gemertak kecil, tanda bahwa gelas itu mulai membentuk retakan. Ia menolehkan kepalanya secara perlahan ke arah Yoochun. Mata musangnya yang nyaris terpejam tadi mendadak terbuka selebar yang ia bisa. “Katakan sekali lagi, Park Yoochun,” perintah Yunho dengan suara yang dalam.

Yoochun menarik nafas dalam-dalam, mencoba mempersiapkan dirinya menikmati emosi yang akan segera diluapkan Yunho. “Paman Il Woo yang menyuruhku untuk menemuimu, Jung Yunho.” Suara Yoochun kali ini pun terdengar tak kalah mengerikan dari suara Yunho.

Kali ini, Yunho menggertakkan giginya. “Apa yang diinginkan pria tua itu, eh?” tanyanya tanpa rasa bersalah sedikitpun ketika menyebut ayah kandungnya dengan istilah pria tua. Catat, ayah kandungnya! Seluruh perasaan ibanya pada sang ayah telah luluh sejak bertahun-tahun lalu, ketika pria itu dengan tega memilih pekerjaannya dan menelantarkan Yunho dan ibunya, Jung Soo Ae.

Yoochun kembali menarik nafas dalam-dalam. Matanya terpejam. “Paman Il Woo sedang sakit parah dan ingin bertemu denganmu. Ada hal yang penting yang ingin disampaikannya padamu.” Yoochun mengucapkan setiap kalimat itu dengan hati-hati. Ia bahkan tak berani menyebut Il Woo sebagai ayah Yunho, karena ia ingat betapa marahnya Yunho ketika ada seseorang yang menganggap Yunho sebagai anak Il Woo, meski memang begitulah kenyataannya. Seingat Yoochun, orang terakhir yang pernah mengatakan bahwa Yunho adalah anak Il Woo berakhir di rumah sakit dengan tulang rusuk, tulang belakang, dan tulang kaki yang patah. Yoochun paham dengan kebencian Yunho pada Il Woo dalam setiap aliran darahnya.

Yunho termenung di tempatnya. Ia tidak menyahut atau menunjukkan ekspresi geram atau marah seperti sebelumnya.

Yoochun pun memberanikan untuk membuka matanya kembali, sekedar memastikan apakah ia masih hidup di dunia atau sudah dikirimkan ke neraka oleh sepupunya sendiri. Namun, ia merasa sangat bersyukur, ketika ia masih melihat Yunho di hadapannya. Yah, kecuali jika Yunho telah menjelma menjadi malaikat penjaga neraka.

“Apa yang ingin ia katakan denganku?” tanya Yunho dengan suara lirih.

Yoochun mengerjap kaget. Ia bisa merasakan bahwa pria di hadapannya itu mulai menunjukkan sisi-sisi kerapuhannya. Meskipun Yunho adalah seorang pria yang dikenal teguh pendirian, keras dan tegas, itu semua tak lebih dari sekedar bentukan sang Kakek, yang menginginkan Yunho menjadi pria dan penguasa yang tangguh. Mungkin, Yunho memang mewarisi fisik seorang Jung Il Woo. Tubuh tinggi tegapnya dan mata musangnya. Namun, bagaimanapun juga, Yunho adalah putra kandung Soo Ae, seorang wanita yang baik hati dan berhati lembut. Itulah sebabnya, mengapa Yunho masih memiliki hati yang lembut dan mungkin bisa dihancurkan kapan saja, walaupun ia terlihat begitu kuat dan tegar. Hanya saja, sisi lembut Yunho sudah sangat jarang terlihat. Pria itu justru terlihat seperti baja, dan bukannya kaca. Wajar saja, jika Yoochun terkejut melihat Yunho seperti saat ini. “Aku tak tahu, Yun. Paman Il Woo ingin bertemu dan menyampaikannya langsung padamu.”

Yunho tidak membalas lagi ucapan Yoochun. Ia langsung menghabiskan wine-nya dan beranjak dari kursinya. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, pria bertubuh tinggi itu langsung pergi meninggalkan Yoochun, meninggalkan keramaian bar.

Yunho merasa benar-benar membutuhkan ketenangan.

Dan Yoochun yang memahaminya, hanya tersenyum kecil untu menanggapinya. Ia sungguh berharap bahwa hati sepupunya itu kembali luluh dan ia menginginkan Yunho yang dikenalnya itu kembali seperti dulu.

.

Yunho terduduk di atas bangku taman, di tepi Sungai Han. Mata musangnya itu memandang kosong ke arah pantulan wajahnya yang tercetak di atas air sungai. Setiap kali melihat wajahnya sendiri, Yunho seolah selalu teringat pada sosok ayah kandungnya yang begitu ia benci. Wajah mereka memang tidak terlalu mirip. Namun, mata musang yang mereka miliki sangatlah persis. Dan setiap kali Yunho menatap mata musangnya itu melalui pantulan cermin, ia bisa melihat gumpalan kebencian di matanya. Ia bahkan tak menduga bahwa rasa bencinya pada sang ayah sangatlah besar. Ia merasakan energi dari mata musangnya itu membuat tubuhnya melemas, takut dan sedih.

Sesekali, Yunho membayangkan bagaimana perasaan ayahnya ketika ayahnya melihat ke dalam matanya. Apakah ayahnya juga merasakan ketakutan dan kesedihan yang sama? Namun, rasa iba itu selalu melenyap seketika, setiap ingatan Yunho mulai memutar kenangan-kenangan buruk tentang ayahnya. Tentang betapa ayahnya yang selalu memilih untuk menjalankan bisnisnya yang kejam dan menelantarkan Yunho dan ibunya. Sungguh, Yunho kecil sama sekali tak mengharapkan kehidupan dengan harta yang bergelimang. Ia hanya menginginkan rumah sederhana yang diisi dengan kehangatan ayah dan ibunya. Kebencian Yunho semakin bertambah ketika ayahnya sama sekali tidak memedulikan ibunya, padahal ibunya sedang sakit keras dan berjuang melawan kanker paru-paru yang menggerogoti seluruh tubuhnya.

Yunho memejamkan matanya. Air matanya berhasil lolos dari celah mata musangnya. Mengingat sang ibu yang sudah tiada selalu membuat dirinya sedih dan ingin menangis. Dan setiap saat itu, kebenciannya pada sang ayah akan semakin betambah. Namun, kali ini berbeda. Terselip perasaan aneh di dalam hatinya, ketika mendengar bahwa ayahnya sedang sakit dan ingin bertemu dengannya. Yunho heran pada dirinya sendiri. Kemana perginya seluruh kebencian yang telah terpupuk dalam hatinya itu?

Saat ini, hanya bayangan ibunya yang terlintas di pikirannya. Yunho ingat betul ketika ia senantiasa mendampingi ibunya menjalani terapi penyembuhan, meski dokter sudah mengatakan bahwa ibunya tak memiliki banyak harapan. Walaupun ia disibukkan dengan kegiatan sekolah dan ajaran bisnis dari sang kakek, namun Yunho senantiasa menyempatkan diri untuk merawat atau sekedar menjenguk ibunya, tidak seperti ayahnya yang bersikap acuh tak acuh atas keadaan ibunya. Yunho selalu bertekad dalam hati bahwa ia ingin menunjukkan pada dunia jika dia sangat berbeda dengan ayahnya. Mungkin tekad itulah yang sedikit meluluhkan hati Yunho. Sebenci apapun Yunho pada ayahnya, ia tak boleh menelantarkan ayahnya begitu saja, seperti yang pernah dilakuka ayahnya pada ibunya.

Yunho membuka matanya kembali. Tangannya tergerak menuju pipinya yang sempat dialiri lelehan bening air matanya. Ia menarik nafas dalam-dalam. “Baiklah, aku akan menemuinya,” gumamnya pelan.

Lagipula, Yunho cukup penasaran.

Apa yang akan disampaikan oleh ayahnya?

.

Tokyo, Japan

Seorang pria bertubuh tinggi yang mengenakan setelan dan jas berwarna hitam, serta kacamata hitam yang melindungi mata sipitnya itu sudah berdiri dengan tegap di Gerbang Kedatangan Narita Airport, Tokyo. Ia sedang menanti kehadiran seseorang yang dijadwalkan untuk tiba pada pukul 10.15 a.m. Ia mengangkat tangannya dan menyingkan jas yang menutupi arlojinya. Sekarang, jam sudah menunjukkan pukul 10.13 a.m. Jika tak ada kendala, maka pesawat dari Incheon Airport, yang ditumpangi oleh orang yang ditunggunya akan tiba 2 menit lagi.

Namun belum berselang satu menit, pengeras suara di Narita Airport sudah berbunyi, yang mengumumkan bahwa pesawat dari Incheon Airport telah mendarat dengan selamat di Narita Airport.

Kabar tersebut membuat pria tinggi berkacamata hitam itu mengulas sebuah senyuman penuh kelegaan. Ia tidak perlu merasa khawatir lagi, karena orang yang dinantinya bisa dipastikan sudah selamat. Dan pria itu hanya tinggal menunggu kemunculannya dari balik gerbang kedatangan.

Hingga akhirnya, beberapa gerombolan orang mulai berjalan keluar melalui gerbang kedatangan.

Mata sipit pria itu mencari-cari sosok yang tengah dinantinya. Dan matanya pun terhenti pada satu sosok.

Seorang pria yang berpenampilan casual, dengan kaus berwarna merah, celana pendek warna coklat muda, kacamata hitam, topi, dan sandal santai. Di balik punggungnya, terdapat sebuah tas ransel besar.

Pria bermata sipit itu pun tersenyum kecil. Ia pun menghampiri pria berpenampilan casual tersebut. “Selamat datang kembali di Tokyo, Tuan Muda.”

.

“Harus berapa kali lagi kukatakan padamu untuk berhenti memanggilku ‘Tuan Muda’, Kenichi Matsuyama?”

Pria bermata sipit yang sedang mengemudikan mobil Audi V8 berwarna putih yang terlihat sangat mencolok di siang hari yang cerah itu hanya menarik sudut bibirnya. Matanya yang sudah tak terhalangi kacamata hitam itu terfokus pada jalan protokol kota Tokyo yang ramai. Kepalanya menggeleng pelan. “Bagaimanapun juga, Anda adalah atasan saya, Tuan Muda,” ucapnya tegas.

Pria bermata musang yang juga sudah melepaskan kacamata hitamnya itu pun mendengus pelan. “Kau bekerja untuk ayahku, bukan untukku. Jadi, aku masih temanmu, bukannya atasanmu,” balas pria yang kita kenal dengan nama Jung Yunho itu, terdengar tak mau kalah. “Dan ingat, kau tahu betul bahwa aku benci disamakan dengan ayahku.”

Pria bermata sipit yang sempat dipanggil Kenichi Matsuyama itu tersenyum kembali. Ternyata, pria yang duduk di sampingnya it tak banyak berubah. Di satu sisi, pria itu memang tegas, keras, dan ulet dalam bekerja. Namun sesungguhnya, pria itu tak lebih dari Jung Yunho yang terkadang begitu kekanakan dan manja. Selain itu, ucapan Yunho yang menyiratkan bahwa setidaknya pria itu sudah mampu menerima ayahnya adalah fakta yang membuatnya bahagia. Sebagai seorang sahabat lama yang baik, tentu saja Kenichi tak ingin melihat hubungan Yunho dan ayahnya yang selalu bergulir bak bola api. Akhirnya, Kenichi pun memutuskan untuk mengalah dengan Yunho. “Baiklah, Yunho. Kau adalah temanku dan bukannya atasanku.”

Yunho tersenyum kecil, nampak puas. “Tumben sekali, kau mudah luluh, Ken,” komentar Yunho. Yunho mengenal Kenichi dengan baik. Kenichi memang bukan keturunan keluarga Jung. Namun, keluarganya memang mengabdi pada keluarga Jung sejak lama. Jadi, didikan yang diberikan bagi Yunho dan Kenichi hampir mirip. Dan Kenichi adalah satu-satunya sahabat yang dimiliki Yunho, selama ia mengenyam pendidikan bisnis dari sang Kakek. Itulah sebabnya, Yunho pun tahu bahwa Kenichi dididik untuk menjadi keras dan tegas, sehingga tak mudah luluh begitu saja dengan bujukan orang.

“Hitung-hitung, ini merupakan kado selamat datang dariku,” balas Kenichi, lantas menoleh ke arah Yunho, sambil menunjukkan cengiran khasnya.

Yunho terkekeh pelan. Pria di sampingnya itu pun tak jauh berbeda. Sifat-sifat bad boy yang tertanam dalam pria Matsuyama itu masih tersisa, meski telah tertutup dengan berbagai atribut yang membuat Kenichi terlihat mengerikan.

Dan perbincangan di antara dua sahabat yang telah lama berpisah itu pun mengalir selancar air sungai di pedesaan.

.

“Dimana ayahku dirawat?” Yunho langsung bertanya tanpa basa-basi pada Kenichi, tepat ketika mereka sudah menginjakkan kaki di lantai Tokyo International Hospital.

Kenichi yang berjalan mendahului Yunho pun menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya menghadap Yunho. Kenichi mengernyitkan dahinya, sehingga kedua alis tebalnya pun saling bertautan. “Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah aku akan mengantarmu kesana?” tanya Kenichi bingung.

Yunho menghela nafas panjang, lantas menunduk lesu. “Tidak. Aku… Aku hanya merasa belum siap,” cicit Yunho. Setelah sekian lama, mungkin lebih dari 10 tahun, tidak pernah bertemu sang ayah, tentu saja Yunho harus mempersiapkan dirinya. Meskipun ia sudah berusaha mempersiapkan diri selama di Seoul, namun semua itu terasa tidak cukup. Rasa-rasa canggung dan amarah mulai menyeruak dan bersiap menguasai dirinya. Yunho hanya tak ingin ia kehilangan kendali.

“Jadi, kau ingin pergi kemana dulu? Perlu kutemani?” tawar Kenichi. Meskipun ia sudah jarang bertemu dengan Yunho, namun ia percaya bahwa Yunho tidak pernah bisa berubah sepenuhnya. Pria bermata musang itu masih seorang bocah kecil yang dikenal Kenichi dulu. Jadi, setidaknya, ia bisa membantu Yunho untuk meringankan beban pria itu.

Yunho mendongak, lantas menatap Kenichi. “Tidak, terima kasih.” Pria itu tersenyum kecil. “Kau pergilah dulu menemui ayahku. Katakan padanya bahwa aku sedang pergi membeli kopi di cafetaria,” jelas Yunho. “Aku pergi dulu, Ken,” pamitnya, lantas berlalu pergi meninggalkan Kenichi, tanpa menantikan balasan dari sahabat lamanya itu.

Kenichi hanya bisa terdiam, sambil memandang ke arah punggung Yunho yang semakin jauh darinya.

.

“Aku pesan segelas Espresso,” ucap Yunho pada penjaga cafetaria. Espresso hangat selalu berhasil menenangkan dirinya. Setidaknya espresso hangat juga bisa memberinya kehangatan, sebagai pengganti wine kesukaannya.

Sang penjaga cafetaria itu mengangguk paham, lantas segera menyiapkan pesanan Yunho.

Yunho masih berdiri di depan meja pesanan. Tubuhnya memutar dan ia menyapukan pandangannya ke setiap sudut cafetaria tersebut. Cafetaria itu terlihat sepi pengunjung. Mungkin, karena saat ini belum masuk jam makan siang. Hanya terlihat beberapa orang yang menenteng kantong-kantong plastik, mungkin setelah membelikan beberapa makanan untuk orang-orang terdekat mereka.

Bayangan tentang orang-orang terdekat membuat pikiran Yunho melayang pada sang ayah. Bagaimanapun juga, sang ayah adalah satu-satunya anggota keluarganya yang masih tersisa, meski mereka sama sekali tak bisa dibilang dekat. Bagaimana keadaan sang ayah yang harus berjuang melawan penyakit yang bahkan belum ia ketahuinya, selama ia berada di Seoul? Mungkinkah sang ayah merasakan kesepian sepertinya yang dirasakan ibunya dulu? Bahkan, Yunho yakin bahwa sang ayah merasa jauh lebih kesepian daripada ibunya, karena tak ada satu pun anggota keluarga yang mendampingi sang ayah selama berada di rumah sakit, kecuali pengawal-pengawal dan pekerja setianya.

BRUK!

“ARGH!” Yunho memekik kaget ketika bagian dadanya terkena tumpahan air yang lumayan panas. Untung saja, kaus yang dikenakannya saat itu cukup tebal, sehingga panas yang terasa pada tubuh Yunho tidak terlalu tinggi. Yunho menunduk dan sekilas mata musangnya menangkap seorang gadis yang hanya setinggi dagunya yang menabrak tubuhnya.

Gadis itu mendongak menatap Yunho. Matanya yang bulat bertemu dengan mata musang milik Yunho. Sedetik kemudian, ia justru berteriak, “Hiyaa! Ada beruang menyeramkan yang ingin memakanku!” Dan gadis itu justru berlari tanpa permintaan maaf pada Yunho setelah menabrak dan menumpahkan air panas, entah berupa apa, pada tubuh Yunho.

Yunho memandang heran ke arah gadis yang baru saja menabraknya. Gadis itu memang terlihat pendek dan wajahnya terlihat begitu muda dan manis, namun Yunho yakin, bahwa gadis itu adalah gadis yang berusia sekitar 17-18 tahun. Wajahnya yang terasa familiar baginya menimbulkan perasaan rindu yang menyeruak.

“Ah, gomenasai, gomenasai, kami-sama.”

Kini Yunho kembali memutar kepalanya dan mendapati seorang wanita cantik telah berdiri di sampingnya. Matanya menatap bingung ke arah wanita itu. Kepalanya mulai berdenyut pelan. Sebenarnya, ia sedang terlibat masalah macam apa?

“Maafkan kelakuan Eunji. Dia tak sengaja menabrakmu dan menumpahkan espresso-nya ke tubuhmu,” ucap wanita itu.

‘Ah, gadis itu bernama Eunji rupanya,’ batin Yunho dalam hati. Yunho pun memaksakan sebuah senyuman kecil. “Ya, tak apa-apa. Aku bisa mengerti hal itu,” ucap Yunho bohong. Tentu saja, Yunho dalam keadaan yang jauh dari kata ‘tak apa-apa’. Hari pertamanya di Tokyo justru dirusak oleh gadis muda bernama Eunji yang menabraknya dan menumpahkan espresso panas ke tubuhnya.

“Sekali lagi, saya minta maaf,” ucap wanita itu sambil menunduk dalam-dalam. “Maaf, saya harus kembali mengejar Eunji. Permisi.” Wanita itu pun berlalu dan mempercepat langkahnya.

Yunho mengikuti arah perginya wanita itu. Ia menyentuh kepalanya yang mulai terasa berat. Mendapati seseorang yang lebih muda dari kita, seperti seorang adik atau anak, adalah suatu malapetaka. Anak-anak muda itu selalu membuat masalah bagi orang-orang dewasa, tanpa perlu merasa bersalah. Itulah sebabnya mengapa Yunho tak suka bergaul dengan orang-orang yang lebih muda darinya. Dan jangan sampai, ia mendapati kenyataan bahwa ternyata ia mempunyai seorang adik perempuan.

Tidak seperti Eunji.

.

“Ada apa dengan bajumu?” Kenichi mengernyit heran ketika mendapati kaus yang dikenakan Yunho terlihat basah, sehingga menjadi transparan.

Yunho melirik kesal ke arah Kenichi. “Jangan terlalu banyak mengerutkan dahimu seperti itu. Kau akan terlihat mudah tua,” canda Yunho dengan suara ketus. “Hanya kecelakaan kecil. Tak perlu dikhawatirkan,” jawab Yunho atas pertanyaan Kenichi.

Kenichi hanya mengangkat bahu. “Cepatlah masuk. Tuan Jung sudah menunggumu.”

“Bagaimana keadaannya?” tanya Yunho dengan suara yang nyaris berbisik dan tak terdengar.

“Jauh lebih baik, setelah mendengar kau tiba di Tokyo.” Kenichi mengembangkan senyuman khasnya untuk meyakinkan pada Yunho bahwa semuanya baik-baik saja.

Yunho mendesah lega. “Baiklah, aku akan masuk sekarang,” gumamnya. “Aku hanya tak ingin mengambil risiko kalau ayahku meninggal mendadak saat bertemu denganku,” guraunya.

Kenichi memukul bahu Yunho. “Bisa-bisanya kau bercanda saat ayahmu sedang berjuang melawan penyakitnya,” celetuk Kenichi tak percaya.

Yunho hanya nyengir dan tak membalas lagi ucapan Kenichi. Ia pun melangkah masuk ke dalam ruang perawatan sang ayah sambil merapalkan doa-doa yang akan menguatkan batinnya saat bertemu dengan ayahnya.

.

Ruang perawatan Jung Il Woo, sang Direktur Utama Jung Industries, sekaligus ayahJung Yunho terlihat begitu sepi. Beberapa pria berpakaian rapi nampak berdiri tegap, sebagai penjaga atasan mereka yang sedang terbaring lemah. Suara-suara alat-alat kedokteran yang menopang hidup Il Woo terdengar saling bersahutan, menjadi satu-satunya melodi yang bisa memecahkan keheningan di dalam kamar tersebut.

Yunho melangkahkan kakinya perlahan menuju kamar ayahnya. Dari kejauhan, ia bisa melihat tubuh ayahnya yang begitu kurus dan rapuh tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit. Berbagai kabel dan benda-benda lainnya tersambung pada tubuhnya. Yunho merasa hatinya tersayat. Kondisi ayahnya saat ini jauh lebih parah dibanding kondisi ibunya dulu.

“Yunnie…” Suara berat ayahnya yang lemah itu terdengar pelan. Mata musangnya yang sempat terpejam itu mulai terbuka secara perlahan.

Yunho sama sekali tak berusaha mempercepat langkahnya. Bahkan, ia berniat untuk menghentikan langkah kakinya, berharap ia bisa berdiri sejauh mungkin dari ayahnya. Jujur, ia tak sanggup melihat kondisi ayahnya saat ini.

“Akhirnya, kau menemuiku juga, Nak…”

Yunho tersenyum kaku. Ia tak tahu harus merespons seperti apa. Ia merasa bahwa ucapan ayahnya seolah sedang menyindirnya sebagai seorang anak yang tak pernah memperhatikan orang tuanya. Namun, nada penuh kasih yang disuarakan sang ayah membuat Yunho merasa tenang, seolah inilah yang paling diinginkan oleh ayahnya, bagaimanapun hubungan mereka sebelum ini.

“Mendekatlah, Nak. Ayah ingin membicarakan sesuatu padamu. Kau tahu, suara ayah tidak sekeras dulu,” perintah ayahnya lembut.

Yunho tak sadar bahwa ia telah menghentikan langkahnya. Ia pun memutuskan untuk berjalan mendekati ranjang ayahnya dan berdiri di sisi kanan ranjang. Mulutnya masih terkunci, tak tahu ingin berkata apa.

“Ayah tahu ini sangat terlambat dan sia-sia bagi ayah, dirimu, dan ibumu,” ucap Il Woo membuka pembicaraan pentingnya. “Namun apapun yang terjadi selanjutnya, bagaimana kau menyikapinya, ayah tidak akan peduli. Karena yang paling penting bagi ayah saat ini adalah kau bersedia mendengar penjelasan ayah.”

Yunho mengepalkan tangannya dengan kuat. Ia tahu arah pembicaraan ayahnya saat ini. Ia tak sanggup jika harus membuka luka lamanya, saat ia telah berusaha membuka pintu maaf untuk sang ayah.

“Ayah minta maaf padamu jika ayah telah melakukan banyak kesalahan padamu dan ibumu yang telah memupuk kebencian dalam hatimu pada ayah. Sesungguhnya, tak ada satu pun orang tua yang menginginkan anaknya membenci mereka,” lanjut Il Woo. Kedua mata Il Woo kembali terpejam. “Ayah hanya tak tahu bagaimana harus bersikap. Ayah dijodohkan dengan ibumu atas perintah Kakek. Ayah juga sudah berusaha mencintai ibumu. Namun, cinta Ayah pada pekerjaan tak dapat lagi tergantikan. Bahkan, saat Ayah pikir, kehadiranmu bisa mengubah keadaan, ternyata semuanya salah. Maafkan Ayah yang tak bisa menjadi suami dan ayah yang baik.” Air mata Il Woo menetes, meski kedua matanya itu terpejam.

Yunho meremas ujung kausnya, berusaha meredam emosinya.

Kedua mata Il Woo kembali terbuka. Dan pria tua itu menyunggingkan sebuah senyuman. Mata musangnya bertemu dengan mata musang milik anaknya. “Dan sesungguhnya, ada satu rahasia yang ingin ayah sampaikan padamu. Ayah yakin, kau sama sekali belum mengetahuinya,” ucap Il Woo.

Yunho semakin dilanda rasa penasaran.

“Ayah harap, setelah kau mengetahui hal ini, kau tidak akan membenci ibumu.”

DEG!

Yunho membulatkan kedua matanya. Ia tak habis pikir dengan apa yang diucapkan ayahnya. Selama ini, ia sangat mencintai ibunya dan ia yakin, bahwa ia tak akan pernah membenci ibunya.

“Jung Yunho, sesungguhnya, kau memiliki seorang adik perempuan.”

Yunho membatu di tempatnya. ‘Apa katanya? Adik perempuan?’ batin Yunho penuh tanya.

Il Woo kembali memejamkan matanya, seolah berusaha mengingat kejadian di masa lalunya. “Kau tak bisa menyalahkan ibumu, karena disini, ayah juga bersalah,” ucap Il Woo sedih.

“Apa maksudmu?!” Suara Yunho yang tinggi itu memenuhi kamar perawatan sang ayah. Matanya dipenuhi oleh kilat-kilat amarah. “Bagaimana mungkin, aku memiliki seorang adik perempuan? Apa kau telah mengkhianati ibuku, hah?!” bentak Yunho lagi.

Il Woo menarik nafas dalam-dalam, lantas kembali membuka matanya, menatap putranya. “Satu-satunya pengkhiantan yang pernah kulakukan pada ibumu adalah kenyataan bahwa aku memilih berselingkuh dengan pekerjaanku sendiri, Jung Yunho,” jelas Il Woo.

Yunho tercekat. Jika ayahnya tidak mengkhianati ibunya, lantas apakah ibunya yang mengkhianati ayahnya? Yunho menggelengkan kepalanya lemah. Hanya satu hal itu yang terlintas di pikirannya. Namun, ia berusaha mengenyahkan pikiran buruk itu. Bagaimanapun juga, ibunya adalah wanita terbaik yang pernah dikenalnya.

“Jika kau berpikir bahwa ibumu yang berkhianat,” Il Woo mengambil jeda dalam ucapannya.

Dan itu justru membuat jantung Yunho berpacu makin cepat.

“Maka jawabannya adalah iya.”

Yunho merasa jantungnya berhenti berdetak, bumi yang dipijaknya pun berhenti berputar. Tangannya langsung tergerak menuju dadanya dan meremas kausnya dengan cukup kuat. Kenyataannya yang disampaikan ayahnya cukup membuatnya ingin mati saat itu juga.

“Tapi ayah mohon, jangan pernah menyalahkan ibumu, apalagi sampai membencinya,” mohon Il Woo dengan sangat.

Yunho memang menyayangi ibunya. Namun, mendengar pengkhianatan yang telah dilakukan ibunya, berhasil membuatnya membenci wanita yang paling dicintainya itu. Ia tak menyangka bahwa ayahnya yang pernah dibencinya itu pun masih mengasihani ibunya.

“Ibumu melakukan semua ini karena ayah yang telah menelantarkannya. Wajar saja, jika ibumu mencari kesenangan di luar sana,” lanjut Il Woo.

“Ibu yang kukenal tidak mungkin mengkhianti kita. Tidak mungkin, dia mencari kesenangan seperti yang kau katakan, sementara aku selalu berada di sampingnya,” ucap Yunho tak percaya.

Il Woo tersenyum kecil. “Semua itu terjadi ketika kau disibukkan menerima pendidikan di Jerman. Saat itulah, ibumu merasa benar-benar kesepian dan mulai menjalin hubungan dengan seorang pria,” jelas Il Woo. Kali ini, ia tersenyum kecut. “Dan dari hubungan itulah, ibumu mengandung seorang anak perempuan, Nak.”

“Tapi aku tak pernah mendengar kabar bahwa ibu sedang hamil,” protes Yunho.

“Itu karena ayah yang melarang semua orang untuk memberitahukan kabar ini padamu dan keluarga yang lain, apalagi Kakek,” jelas Il Woo. “Tepat setelah ibumu tahu bahwa ia sedang mengandung, ia langsung melapor pada ayah. Di satu sisi, ayah merasa sangat marah pada ibumu. Namun, di sisi yang lain, ayah merasa bersalah karena telah membuat ibumu menderita selama ini. Maka dari itu, ayah memutuskan untuk melindungi ibumu hingga ia melahirkan putrinya.”

Batin Yunho sedang berperang. Ia merasa sangat jengkel dan kesal pada ibunya, namun seperti yang dikatakan ayahnya, ibunya melakukan hal itu karena salah ayahnya sendiri. “Lalu, bagaimana dengan keadaan ….adikku?” Yunho merasa sangat aneh jika menyebut istilah ‘adik’, sementara selama ini, ia tak pernah merasa memiliki seorang adik.

Il Woo tersenyum lega melihat Yunho yang mulai menerima kenyataan. “Adikmu juga tinggal di Tokyo. Namun, ayah masih menjauhkannya dari publik. Bagaimanapun juga, ini adalah berita yang cukup mengejutkan. Ayah harus mencari saat yang tepat sebelum menyebarkan kabar ini,” jelas Il Woo.

“Memangnya, kau akan memperkenalkan adikku pada orang-orang? Dan itu artinya akan membuka aib keluarga ini?” tanya Yunho. Bagaimanapun juga, ia tak ingin membuat citra ibunya menjadi buruk di mata publik.

Il Woo menggeleng pelan. “Ayah akan memperkenalkan adikmu sebagai putri kandungku.”

“A-apa?!” Yunho memekik kaget.

Il Woo menatap ke arah langit-langit kamarnya. “Setelah ibumu meninggal, ayah sadar bahwa ibumu adalah satu-satunya wanita yang berhasil membuat ayah jatuh cinta. Bahkan hingga saat ini, ayah masih merasakan cinta itu, meski ia telah mengkhianati ayah. Maka dari itu, ayah akan melakukan apapun yang ayah bisa, selama itu bisa membuat ibumu tenang di atas sana,” tutur Il Woo. “Dan kau akan melakukan hal yang sama kan, Jung?” tanya Il Woo, lantas menolehkan kepalanya pada Yunho.

Yunho mengerjapkan matanya bingung.

“Ayah mohon, jagalah adikmu setelah ini.”

Yunho tak percaya dengan permintaan ayahnya.

“Demi ayah dan ibumu, Nak.”

TBC

Maaf, kalau aku nambah ff series /bow/ Padahal, ff yang lain belum kelar. Maklum deh, author masih labil. Dan belum juga, aku barusan ikut mogud di sekolah. Gilaaa, capek banget (kok curhat? -___-)

Tapi janji kok, berhubung ini udah masuk libur lebaran, aku mulai fokus ke ff-ff yang lain ^^

So, stay tune, yaa 😉

Love,

Jung Minrin

5 responses to “[Series] My Sister’s Keeper – Prologue

  1. Nice idea and love how u write this story ❤
    and that's eunji! ma twins /slapped/ xDv
    update soon 🙂
    i'm so curious ;u;

Mind to Leave Your Trail?